Senin, 12 Maret 2012

Perikatan (Verbintenis) dan Perjanjian (Overeenkomst)


2.1.   
2.1.1.   Pengertian Perikatan (Verbintenis)
            Dalam bahasa Indonesia, Verbintenis sering disebut hukum perikatan atau hukum perutangan. Hukum perikatan adalah aturan yang mengatur hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan (vermogen recht) antara dua orang atau lebih, yang memberi hak (recht) pada salah pihak (kreditur) dan memberi kewajiban (plicht) pada pihak yang lain (debitur) atas sesuatu prestasi.[1])
            Jadi perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur sedangkan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi dinamakan debitur atau si berhutang.
2.1.1.1.     Subjek Perikatan
Subjek perikatan adalah mereka yang memperoleh hak (kreditur) dan mereka yang dibebani kewajiban (debitur) atas suatu prestasi. Pada prinsipnya, semua orang, baik natuurlijke persoon maupun rechts persoon (badan hukum), dapat menjadi subjek perikatan.
2.1.1.2.     Objek Perikatan
Objek perikatan (voorwerp der verbintenissen) adalah hak pada kreditur dan kewajiban pada debitur yang dinamakan prestasi. Prestasi tersebut dapat berupa :
a.    Tindakan memberikan sesuatu, misalnya penyerahan hak milik dalam jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.
b.    Melakukan suatu perbuatan, misalnya melaksanakan pekerjaan tertentu.
c.    Tidak berbuat, misalnya tidak akan membangun suatu bangunan pada suatu bidang tanah tertentu.
            Dalam suatu perikatan pasti terdapat hak dan kewajiban, namun tidak semua hak dan kewajiban merupakan perikatan dalam arti hukum. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang diatur dan diakui hukum (dalam Buku II) yang berkaitan dengan lingkup hukum kekayaan (vermogenrecht). Hubungan hukum yang bersifat hukum keluarga (familierecht) seperti kewajiban suami isteri, tidak termasuk dalam perikatan.[2])
            Namun ada beberapa hubungan hukum dalam hukum keluarga yang mempunyai sifat hukum harta kekayaan, misalnya wasiat, sehingga memungkinkan penerapan ketentuan umum hukum perikatan (verbintenissen recht).[3])
                Untuk menentukan apakah hubungan hukum itu masuk dalam hukum perikatan atau tidak, pada umumnya para sarjana menggunakan ukuran apakah hubungan hukum itu dapat dinilai dengan sejumlah uang, yakni apakah kerugian yang diakibatkan wanprestasi atau akibat suatu perbuatan melawan hukum itu dapat diukur dengan sejumlah uang atau tidak, (bernilai ekonomis atau tidak). Namun demikian dalam perikatan ada hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang, dan hal ini dianggap sebagai suatu pengecualian.[4])
2.1.1.3.     Sumber Perikatan
            Hubungan hukum dalam perikatan tidak bisa timbul dengan sendirinya, melainkan harus didahului oleh adanya tindakan hukum (rechhandeling) yang dilakukan pihak-pihak, sehingga menimbulkan hak di satu sisi dan kewajiban pada pihak lain. Suatu perikatan terjadi karena adanya perjanjian/persetujuan atau karena tindakan yang sesuai atau tidak sesuai dengan undang-undang. Dengan demikian, sumber perikatan itu ada dua, yakni perjanjian dan undang-undang.
2.1.1.4.     Terjadinya Perikatan
Perikatan itu dapat terjadi karena :
a.    Persetujuan para pihak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Contohnya antara lain : perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian kredit, perjanjian deposito, dan lain lain.
b.    Undang-undang, sebagaimana dimaksud Pasal 1352 KUH Perdata, perikatan itu dapat timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang karena perbuatan orang. Selanjutnya Pasal 1353 KUH Perdata menjelaskan bahwa perikatan yang dilahirkan dari undang-undang karena perbuatan orang, dapat terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum. Atas dasar kedua pasal tersebut, dapat dikemukakan contoh sebagai berikut :
1.   Dari undang-undang semata, misalnya Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
2.   Dari undang-undang karena perbuatan :
a.  Halal (tidak melanggar hukum), misalnya zaakwaarneming atau perwakilan sukarela atau mewakili kepentingan orang lain tanpa diminta atau disuruh oleh orang itu, seperti yang dimaksud oleh pasal 1354 KUHPerdata : “jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut sehingga orang yang diwakili kepentingan dapat mengerjakan sendiri urusan itu”. Misalnya, A bertetangga dengan B. Pada suatu saat A pergi ke luar negeri selama 3 bulan.  B sebagai tetangga, melihat pekarangan rumah A kotor, tidak terawat dan merusak pemandangan rumah B. Karena itulah B secara sukarela dengan tidak mendapatkan perintah dari A merawat dan membersihkan pekarangan  rumah A. Terhadap peristiwa seperti ini maka berdasarkan pasal 1354, B wajib untuk terus menerus membersihkan dan merawat rumah A,  sampai dengan A dapat mengerjakan sendiri pekerjaan itu.
b.  Melanggar hukum (onreehtmatige daad) seperti yang dimaksud oleh pasal 1365 KUHPerdata : “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada orang lain karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Misalnya, motor milik A yang sedang diparkir ditabrak oleh mobil yang dikendarai oleh B yang sedang dalam keadaan mabuk. Berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, A dapat menuntut B untuk memberikan ganti rugi pada A, atas kerugian yang diderita oleh A yang dikarenakan perbuatan B.

2.1.2.   Pengertian Perjanjian (Overeenkomst)
            Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda), contract / agreement (bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang sama, sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut digunakan secara bergantian untuk menyebut sesuatu konstruksi hukum.
            Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUHPerdata, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari istilah tersebut tidak diberikan.
            Pada pasal 1313 KUHPerdata merumuskan pengertian perjanjian, adalah suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
            Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia.
2.1.3.   Hubungan antara Perjanjian dan Perikatan
            Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana satu orang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain dan dimana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Oleh karenanya, perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
                Sedangkan definisi dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan. Perikatan merupakan suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa.
Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu melibatkan perikatan. Perjanji adalah salah satu sumber perikatan  disamping sumber lainnya. Suatu perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakn bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya perkataan “kontrak” lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yag tertulis.



[1])      R.Setiawan, Op Cit, Hal. 1-2.
[2])   H.A.Mukhsin Asyrof, Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi, Hal. 6.
[3])      R. Setiawan, Op Cit, Hal. 2.
[4])    R. Setiawan, Op Cit, Hal. 2 - 3.